Oleh : Mona Krisdinar
Siapa yang menyangka, Ahmad
Tohari, sang pengarang Trilogi terkenal Ronggeng Dukuh Paruk ternyata
awalnya tak memiliki cita – cita sebagai penulis. Bahkan hingga berselang tiga
tahun setelah menamatkan sekolahnya di SMA 2 Purwokerto, ia belum juga
membayangkan nantinya bisa berhasil menulis dan merangkai tulisan hingga
menjadi sebuah novel.
Terlebih, di masa sekolahnya itu, Tohari muda mengambil jurusan ilmu pasti, sebuah jurusan yang jauh dari dunia sastra. Kemudian mencoba kuliah di jurusan kedokteran namun akhirnya berhenti lantaran kekurangan biaya.
Meski begitu, diluar kesadarannya,
ternyata ia sudah membiasakan diri untuk hal – hal yang bisa disebut sebagai
persiapan diri menjadi seorang pengarang. Kebiasaan kecil itulah yang sudah ia
lakukan bahkan sejak dirinya masih duduk di bangku SD atau dahulu dikenal
sebagai Sekolah Rakyat atau SR.
Kegemaran itu, semisal diantaranya
senang ketika mendengarkan cerita – cerita lisan dari kakeknya atau gurunya,
menyaksikan pementasan wayang kulit. “Dan setelah kelas 4 SR saya mulai sangat
suka membaca,” ujarnya ketika berada di acara Belajar Sastra dari Novel Ronggeng
Dukuh Paruk, di Purawisata belum lama ini.
Hanya buku – buku yang ada di
sekolahnya saja yang bisa ia lahap. Lantaran ia sendiri tinggal di sebuah
kampung yang lokasinya jauh dari kecamatan.
Selain membaca buku – buku sekolah,
ia juga berkesempatan membaca koran – koran yang datang setiap bulannya.
Ayahnya adalah seorang pegawai Kantor Urusan Agama yang sudah berlangganan
koran lewat pos sekitar tahun 1955. Koran itu biasanya tiba di rumahnya satu
minggu setelah tanggal terbitnya. Selain koran dan majalah, serta primbon dalam
bahasa jawa, di rumahnya juga terdapat banyak kitab dalam bahasa arab maupun
jawi dalam tulisan pegon.
“Pada periode SD ini, saya juga
sudah tamat membaca komik Mahabarata, karya RA Kosasih sebanyak 48 jilid dan
komik Ramayana sebanyak 19 jilid,” jelasnya.
Setelah menjadi murid SMA, kegemaran
membacanya menjadi semakin terpenuhi. Bagaimana tidak, di sekolahannya ini
masih terdapat begitu banyak novel klasik serta buku – buku karya Karl May yang
menjadi kesukaannya. Ia juga memperoleh kesempatan melahap semua buku yang
dimiliki seorang gurunya di perpustakaan pribadi.
“Pada tingkat SMP saya berani
mengatakan bahwa saya sudah membaca semua novel klasik Indonesia ditambah
beberapa karya terjemahan,” imbuhnya.
Namun ternyata tak hanya pengalaman
manis saja yang ia miliki, tepatnya kelas 2 SMP, ia pun pernah mengalami
pengalaman traumatis. Saat itu gurunya meminta para murid untuk membuat puisi
pengisi majalah dinding. Tohari kecil pun berusaha keras menciptakan sebah
puisi yang berasal dari pemikirannya sendiri. Hasilnya diluar dugaan, seorang
rekannya menuduh Tohari kecil bahwa dirinya pernah membaca puisi yang sama di
sebuah buku. Kemudian ia menuduh Tohari telah mencontek puisi tersebut.
“Sejak saat itu saya merasa bahwa
dunia kepengarangan adalah sesuatu yang sangat tinggi jauh dan saya hanya bisa
memandang dari luar,” ucapnya.
Meski begitu, kegemarannya membaca
sama sekali tak terpengaruh. Pria kelahiran Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas,
Jawa Tengah 13 Juni 1948 ini, terus mengasah kemampuannya lewat membaca. Hingga
kemudian ia mulai dikenal setelah berhasil menerbitkan novel Di Kaki Bukit Cibalak yang awalnya
merupakan cerita bersambung di harian kompas pada tahun 1979.
Kemudian disusul dengan penerbitan
novel Kubah di tahun 1980 yang
pernah mendapat penghargaan dari yayasan buku utama. Belum berakhir sampai di
situ, ia pun berhasil menelurkan novel triloginya yang sangat terkenal yang
berjudul Ronggeng Dukuh Paruk di
tahun 1982, Lintang Kemukus Dini Hari
pada tahun 1985 serta Jantera Bianglala
di tahun 1986. Triloginya ini pun berhasil mengantarkannya meraih
berbagai macam penghargaan di bidang sastra termasuk sastra asean, Sea Write
Award di tahun 1995.
Tampak sangat mulus perjalanan pengalaman hidupnya, tapi sebenarnya ia pernah pula mengalami pengalaman pahit. Tohari pernah diinterogasi militer pemerintahan orde baru karena novel triloginya yang dianggap menyerang pemerintahan. Dengan segudang pengalaman serta keahliannya itu, tak heran jika ia kemudian menjadi salah satu idola para mahasiswa sastra.
Tampak sangat mulus perjalanan pengalaman hidupnya, tapi sebenarnya ia pernah pula mengalami pengalaman pahit. Tohari pernah diinterogasi militer pemerintahan orde baru karena novel triloginya yang dianggap menyerang pemerintahan. Dengan segudang pengalaman serta keahliannya itu, tak heran jika ia kemudian menjadi salah satu idola para mahasiswa sastra.
Mereka kebanyakan kagum akan
keahliannya merangkai kata hingga menjadi sebuah novel yang hidup. Pun demikian
halnya dengan pribadinya yang juga banyak dikagumi. Di kalangan rekannya ia
dikenal sebagai sastrawan yang berpenampilan sederhana dan tidak suka dengan
konsep feodalisme dan kapitalisme. Ia memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan
karya – karya fisiknya pun tak pernah lepas dari kisah kemanusiaan,
ketidakadilan serta penderitaan rakyat kecil di pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar