Oleh : Goen Mitoro
Sore, selepas ashar kami menyiapkan barang-barang dagangan. Bapak menyusun bambu-bambu untuk membuat tenda. Aku memberikan bambu-bambu kepada bapak. Bapak mengatur dan menyusun sesuai dengan letaknya masing-masing. Aku sudah hapal betul bambu mana saja yang harus aku serahkan pada bapak meskipun bambu-bambu itu tidak ditandai dengan nomor urut. Terciptalah sebuah rumah-rumahan dengan atap plastik terpal untuk melindungi barang dagangan dari siraman hujan.
Aku membantu mengeluarkan
pakaian-pakaian dari kotak kayu. Satu persatu aku keluarkan, lalu kuberikan
pada ibu. Ibu mengatur dan menata barang dagangan. Meletakkan dan menyusun di
atas bale-bale yang terbuat dari bambu. Bapak sibuk menyusun pakaian-pakaian
yang disampirkan pada larik-larik potongan bambu. Dua kotak kayu telah kosong, isinya
sudah habis dikeluarkan. Alhamdulillah, akhirnya barang dagangan telah siap
untuk menanti pembeli.
“Bu, bapak mau nganter goen
pulang. Ibu jaga dagangan ya. Semoga jualannya laris malam ini” bapak pamit
kepada ibu. “Aamiiin, iya pak. Bapak pulang dulu saja, nanti habis Magrib ke
sini lagi,” jawab ibu. “Pulang dulu ya bu, mudah-mudahan malam ini banyak
rejekinya, aamiin,” aku pamit sambil mencium tangan ibu. Aku ikut dibonceng bapak
naik motor kantor, pergi meninggalkan ibu.
*****
Ketika tiba di persimpangan,
bapak membelokkan sepeda motornya. Bukannya menuju rumah, bapak malah memacu
motornya menuju Waduk Setiabudi. Tempat bapak biasa mengajarkan aku naik sepeda
motor. Aku heran. “Mengapa kita ke arah sini. Mengapa bukan ke arah rumah, pak”
tanyaku. “Bapak ingin mengajarkanmu naik
motor”, jawab bapak. Aku ikuti saja keinginan bapak.
Tiba di Waduk Setiabudi. Kami berhenti sebentar. Aku turun dari boncengan motor bapak. Bapak turun dari motornya. Bapak menyuruhku untuk menaiki motornya, mengelilingi tanah kosong yang ada di sana. Bapak ingin melihatku lancar mengendarai sepeda motornya.
Bapak masih berdiri di
tempat semula. Bapak melihatku dari jauh. Aku menghentikan sepeda motor di
samping bapak. Bapak memujiku. “Bagus. Bapak lihat kamu sudah lancar naik
motornya,” ucap bapak.
Senja itu, langit kemerahan berangsur-angsur mulai gelap. Bapak melanjutkan bicaranya. “Waktu bapak sudah habis. Tolong jaga ibumu, jaga kakakmu dan juga bimbing adikmu. Lindungi mereka. Senangkan mereka. Buat mereka bahagia. Sebetulnya bapak tak ingin pergi meninggalkanmu. Tapi ini harus. Bapak harus pergi sekarang juga. Sudah saatnya” ucap bapak pelan.
Aku mendengarkan dalam diam. Dadaku terasa sesak. Bulir-bulir bening perlahan mengalir dari sudut kedua mataku. Kupeluk bapak erat, erat sekali. Aku tak ingin berpisah. Aku tak ingin bapak pergi. Aku belum siap. Sayup-sayup terdengar suara Adzan Maghrib dari kejauhan.
Kami berpelukan erat sekali. Kami berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Aku mencium tangan bapak. Bapak mencium keningku. “Tangan bapak tak bisa selalu mendekapmu. Raga bapak tak bisa selalu menjagamu. Tak ada yang abadi. Biarkan, bapak bernafas, sejenak, sebelum hilang. Bersiaplah nak. Bersiaplah menjadi pengganti bapak,” ucap bapak tenang. Bapak tersenyum kepadaku, namun matanya nampak berkaca-kaca. Aku tertunduk diam, menyembunyikan rasa sedihku. Air mata mengalir deras di kedua pipiku.
“Kalau bapak memang harus pergi, aku ikhlas. Aku akan meneruskan perjuangan bapak. Aku akan jaga ibu, kakak dan adikku”, jawabku tersendat. “Pulanglah, kembali ke rumah. Berjalanlah walau habis terang. Ambil cahaya cintaku untuk menerangi jalanmu”
Dengan berat hati bapak melangkahkan kakinya. Bapak pergi meninggalkanku. Bapak berjalan menuju Barat. Menghampiri suara yang memanggilnya. Langkahnya pelan, tetapi jaraknya terasa semakin jauh. Jauh sekali.
Aku menghidupkan sepeda motor. Aku nyalakan lampunya. Aku memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Bapak semakin jauh, semakin tak bisa kukejar. Cahaya lampu motor semakin redup. Hari juga semakin gelap. Aku tak bisa melihat jalan dengan jelas. Aku terjatuh dari sepeda motor. Aku masih menangis. Aku terus menangis. Menangisi kepergian bapak. Mataku terpejam, aku tetap menangis.
***
Tiba-tiba ada tangan yang memegang
pundakku. Sedikit mengguncang-guncang bahuku. Aku terbangun dari tidurku. Aku tersadar
dari mimpiku. Rupanya seorang perawat datang ingin memeriksa keadaan bapak.
Tangan kiri bapak masih diinfus. Aku perhatikan wajah bapak. Pucat. Kedua tulang pipinya lebih menonjol. Selang oksigen menempel di hidungnya. Bapak tertidur lelap. Lelap sekali. Matanya terpejam. Bibirnya tersenyum. Aku cium tangan bapak. Aku bisikkan sesuatu di telinga bapak. “Bapak....., aku ikhlas”
“Berjalanlah
walau habis terang, ambil cahaya cintaku terangi jalanmu”
(Nazril Irham)
Cirebon, 7 Oktober 2012
Catatan : Sebelum wafat, bapak menderita stroke
Bapak tidak bisa berkomunikasi
Bapak dirawat di Rumah Sakit PGI Cikini
Testimony :
Cerpennya keren pak. Bagus
banget alur ceritanya. Seneng banget bacanya tapi sedih yang kurasa. Tidak
seperti mimpi. It’s like a real. Begitu sadar hanya mimpi, ga jadi nangis. Semoga
segera muncul cerpen-cerpen baru lagi. (Ahmad Zainur)
Ciri khas cerpen mas Goen adalah, lugas, tegas tanpa banyak berliku-liku dalam berbahasa. Tapi justru itu yang mampu memikat dan menggiring pembaca untuk larut di dalamnya.
BalasHapusSaya termasuk penyuka cerpen-cerpen mas Goen
Merinding bacanya Pak Goen. Ya, kenangan tentang orang yang kita cinta akan selalu hadir dalam setiap hembusan napas kita :)
BalasHapus