Meskipun orangtua kami adalah perantau,
namun kami sekeluarga tidak pernah mudik lebaran. Kami tidak pernah pulang ke
kampung halaman dimana kedua orangtua kami dilahirkan. Ayahku lahir di Desa
Rowosari, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah. Desa ayahku
terletak di selatan Kota Prembun. Letak kota Prembun sendiri lebih dekat dengan
Kota Purworejo. Ibuku lahir di Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten
Sleman, Jogjakarta.
Ayahku masih mempunyai seorang ibu. Kami
memanggilnya dengan sebutan ‘mbah putri’. Ayahku adalah anak pertama dari dua
bersaudara. Adik ayahku laki-laki, kami memanggilnya dengan sebutan ‘Om’. Om kami tinggal bersama keluarganya di Karawang.
Ibuku sejak lahir sudah tidak memiliki orangtua.
Ayahnya sudah meninggal ketika ibu belum lahir. Ibunya meninggal ketika ibuku
masih berumur beberapa bulan. Sejak kecil ibuku diasuh oleh kakak-kakaknya.
Ibuku adalah bungsu dari tujuh bersaudara. Ketika ibu merantau di Jakarta,
sebagian besar kakak-kakaknya juga merantau ke Sumatera Selatan.
Meskipun ayahku masih memiliki orangtua,
namun setiap lebaran ayahku tidak pernah pulang ke tempat kelahirannya. Ya,
ayahku tidak pernah mudik lebaran. Sehingga aku, kakak-kakak dan adikku tidak
pernah berlebaran di kampung kelahiran ayahku.
Seminggu sebelum awal puasa, ayahku pulang
menjenguk mbah putri. Ayahku juga berziarah ke makam mbah kakung. Setelah itu, ayah kembali ke
Jakarta bersama mbah putri. Sehingga kami sekeluarga berpuasa bersama dengan
mbah putri di Jakarta. Dengan begitu, kami sekeluarga tidak perlu
berdesak-desakan naik kereta untuk mudik
lebaran. Lagipula lebih praktis dan hemat. Uangnya dapat digunakan untuk
keperluan yang lain, misalnya untuk membeli baju lebaran dan membeli kebutuhan
lainnya.
Ibuku juga tidak pernah pulang ke tempat
kelahirannya ketika lebaran. Ibuku hanya mengirim surat kepada
saudara-saudaranya di desa. Memberi kabar, mengucapkan selamat lebaran dan juga
menyampaikan permohonan maaf untuk keluarga besarnya. Bila ibuku ingin pulang,
tidak harus pada saat lebaran. Biasanya ibu meminta aku yang menuliskan
surat untuk dikirim kepada keluarganya di desa. Lalu, aku menuliskan alamat yang
dituju pada amplop kilat khusus berwarna biru. Ayahku yang mengantarnya ke
kantor pos ketika berangkat ke kantor.
Pada hari lebaran, kami sekeluarga
saling bermaaf-maafan. Setelah pulang sholat Ied, kami antri untuk melakukan
acara sungkeman. Mbah putri duduk di sebuah kursi. Ayahku bersimpuh di depan
mbah putri. Ayah mencium tangan mbah putri sambil menangis. Ayahku meminta maaf
sama mbah dalam bahasa Jawa. Aku tidak mengerti apa yang diucapkan ayah. Dalam
pikiranku, pasti ayahku banyak berbuat salah sama mbah.
Setelah itu, ibu juga melakukan sungkem
sama mbah. Ibu menangis, mencium tangan mbah lalu mencium pipi kanan dan pipi
kiri mbah. Mbah menangis dan memeluk ibuku. Ibuku sudah menganggap mbah sebagai
ibunya sendiri, karena sejak kecil ibuku sudah tidak memiliki orangtua. Ibuku
lalu meminta maaf pada ayahku, ibuku menangis begitu juga ayahku.
Kakak sulungku melakukan sungkeman kepada
mbah, ayah dan ibu. Dia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jawa yang halus. Meskipun
halus, tetap saja kakakku tak dapat menahan tangisnya.
Kedua kakak perempuanku sudah terlanjur menangis
sebelum melakukan sungkem. Sehingga permohonan maafnya menjadi tidak jelas
karena tersamar dengan isak tangisnya. Aku tidak tahu apa yang mereka ucapkan.
Aku hanya tahu mereka meminta maaf sambil menangis.
Sebagai anak keempat, aku mendapat
giliran setelah tiga orang kakakku. Aku sungkem sama mbah, sama ayah dan sama ibu.
Aku juga bersalaman dan meminta maaf kepada kakak-kakakku.
Adikku mendapat giliran terakhir. “Bu,
maapin Iyang ya”, ucapnya ketika sungkem kepada ibu. Dengan matanya yang kecil,
adikku juga turut menangis. “Iya, sama-sama. Ibu juga minta maaf ya, nak”, jawab
ibuku sambil menciumi pipi dan kening adikku.
Esok harinya, keluarga om kami dari Karawang datang berkunjung ke rumah kami. Om dan keluarganya juga melakukan
sungkeman kepada mbah.
Itulah kenangan saat-saat lebaran ketika
aku masih duduk di sekolah dasar.
1 Syawal 1433 Hijriyah
Minal aidin wal faidzin
mohon maaf lahir dan bathin
mohon maaf lahir dan bathin
Cirebon, 13 Agustus 2012
ditulis oleh : Guntur Sumitro
ditulis oleh : Guntur Sumitro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar